tentang itu,,



Sore itu ketika matahari mulai terbenam, aku bersama nelayan Tua  asyik ngobrol dibale panjang depan rumahnya menghadap pantai di Pulau Derawan. Kederhanaan hidupnya tercermin dalam rutinitas sebagai nelayan yg nampak selalu tegar dan murah senyum dalam lingkungan kelurga kecilnya. Dalam obrolan perkenalan ini ada hal yang membuatku tergelitik untuk mengetahui lebih dalam ttg prinsip hidup nelayan Tua ini. Ketika aku melontarkan pertanyaan apa yg bisa membuat pak Tua ini begitu tegar, murah senyum dan nampak bersemangat yg menyiratkan kebahagiaan dan kenyamanan dlm hidupnya.

Pak Tua, apa sebenarnya yang membuat bapak bgt semangat dan terkesan santai ( tdk ngoyo ) menjalani hidup ini, ” aku berseloroh “. Mas, Urip kwi nggur ” sawang sinawang ” sergah pak Tua. Donyo brono dudu ukuran seng biso ndadekno menungso urip bungah utowo seneng, bgt pak Tua menambahkan. Urip kwi biso digawe gampang ugo biso digawe susah. Intine ” Gampange wong Urip kwi, Uripe wong Gampang. Angele wong Urip kwi Uripe wong Angel “.Intine Susah lan seneng kwi ono njerone awake dhewe, dudu onok njabane awak dadine nek jarene piwulang Agomo, Surgo lan Neroko iku yo neng njerone awake dhewe seng wes diraksakno saiki dudu mengko lek wes tumekaning pati.

Sebelum pak Tua melanjutkan pembicaraannya, aku menyela…” Loh, bukannya di dalam Kitab Suci dikatakan bahwa Surga dan Neraka bisa ditemui di alam akherat nanti pak??? “. Pak Tua menimpali, Lo iku lak jarene Tulisan nok Kitab Suci, opo sampeyan percoyo karo tulisan???. Perkataan pak Tua ini membuatku tertarik untuk melanjutkan diskusi sambil cangkruk di bale panjang sambil ditemani suguhan wedang Kopi. Dengan semangat akupun melanjutkan pertanyaan seperti di bawah ini :

Aku : Mengapa orang mesti beragama?

Nelayan Tua : Siapa yang mengatakan mesti?

Aku : Sejak kecil aku dinasehati untuk menjadi orang yang taat beragama, karena hanya dengan demikian orang akan masuk surga. Lebih khusus, lagi, aku juga diajari bahwa hanya yang memeluk Islam yang bakal masuk surga.

Nelayan Tua : He, he…dan engkaupun percaya?

Aku : Mau tidak mau, karena hanya dengan begitu aku bisa masuk surga. Siapa yang tak ingin masuk surga?

Nelayan Tua : Lantas, apa yang kau maksud dengan surga?

Aku : Menurut berita yang kuterima, itu adalah sebuah tempat yang teramat indah, yang didalamnya ada kebun yang indah, sungai mengalir di bawahnya, dan yang paling menarik..ada bidadari-bidadari yang teramat cantik…

Nelayan Tua : Ooooo….jadi engkau berjuang menjadi pemeluk agama yang taat agar bisa menikmati semua itu?

Aku : Ya, kurang lebih begitu….

Nelayan Tua : Bagaimana jika semua itu tak ada? Apakah engkau masih akan taat beragama?

Aku : aku belum memikirkannya….

Nelayan Tua : Ternyata…engkau itu pribadi yang tak ikhlash..kau berbuat sesuatu karena ada maunya…ada pamrih

Aku : Bukan begitu…aku hanya mengikuti apa yang diajarkan kepadaku….

Nelayan Tua : He, he…kini engkau berkilah……Tapi baiklah…apakah yang mengajarkanmu demikian, pernah melihat surga? Apakah mereka tahu pasti bahwa surga itu ada?

Aku : aku tak yakin..yang kutahu..mereka mengatakan surga itu ada karena itulah yang dikatakan Kitab Suci…

Nelayan Tua : Oh..jadi, diapun belum pernah tahu dan melihat sendiri…..

Aku : Lalu apa salahnya..bukankah yang dikatakan Kitab Suci itu pasti benar?

Nelayan Tua : Yang bilang salah siapa? aku hanya ingin tanya, apakah pemahamanmu, dan pemahaman orang-orang yang mengajarimu tentang yang dikatakan di dalam Kitab Suci itu pasti benar?

Aku : Kalau boleh jujur, kemungkinannya bisa benar ya bisa salah…

Nelayan Tua : Lalu, apa yang bisa menjadi tolak ukur bahwa pemahaman itu benar atau salah…

Aku : Bukankah..pemahaman terhadap Kitab Suci itu sudah baku? Bukankah semua ulama memahami bahwa memang surga itu seperti yang dikatakan di dalam kitab suci, dan bahwa itu hanya diperuntukkan bagi orang Islam?

Nelayan Tua : Itulah masalahnya….kamu menganggap sesuatu yang cuma merupakan pemahaman, persepsi, hasil olah pikiran, sebagai sebuah kebenaran yang mutlak dan baku…

Aku : Lalu…bagaimana semestinya…?

Nelayan Tua : Mari kita bicara tentang sebuah samudera. Menurutmu, bagaimana caranya agar kita bisa tahu tentang samudera itu? Apakah kita sudah punya alat untuk mengetahuinya?

Aku : Dengan mataku, aku bisa melihat permukaan samudera yang biru…kadang aku bisa melihat kapal berlayar di permukaan samudera itu…

Nelayan Tua : Baik…lalu apa yang ada di balik permukaan samudera itu? Ada apa di kedalamannya?

Aku : aku bisa menduga-duga dengan pikiranku..mungkin di dalamnya banyak ikan…mungkin juga ada terumbu karang..atau barangkali ada kapal selam….

Nelayan Tua : Apakah pasti demikian yang ada di dalam samudera?

Aku : Ya belum tentu…..

Nelayan Tua : Satu2nya cara untuk mengetahui apa yang sesungguhnya ada di dalam samudera itu kamu harus menyelam..kamu harus masuk ke kedalaman….

Aku : Tentu saja…

Nelayan Tua : Lalu, bagaimana caranya agar kamu bisa tahu hakikat surga?

Aku : Pertama, aku sekadar mempercayai apa yang dikatakan oleh orang yang menurutku pintar…Kedua, aku gunakan akalku untuk menduga-duga seperti apa surga itu…Tapi, jelas, aku memang tak akan tahu banyak tentang surga jika begitu…Yang paling mungkin membuat aku tahu kebenaran surga..ya aku harus masuk dulu ke situ..aku harus menyaksikannya langsung….

Nelayan Tua : Lalu apa yang menghalangimu untuk melakukannya?

Aku : Bukankah itu tak perlu? Bukankah sudah ada kitab suci? Bukankah sudah ada ulama yang membimbing kita?

Nelayan Tua : Kalau kau tak lakukan, kau tak akan pernah tahu kebenaran sesungguhnya…kau hanya akan terus dalam praduga, prasangka….bahkan sejatinya, kau juga tak akan tahu apakah yang selama ini kau yakini, yang kau terima sebagai ajaran dari sekian banyak orang yang kau anggap pandai itu, benar atau salah….

Aku : Kamu benar…..tapi mungkinkah?

Nelayan Tua : Di dalam dirimu…sesungguhnya ada pintu gerbang untuk mengetahui hakikat kebenaran yang selama ini tersembunyi?

Aku : aku tak pernah mendengar hal itu…

Nelayan Tua : Ha..ha…ha….

Aku : Mengapa tertawa..

Nelayan Tua : Kau naif sekali…Kau yakin sekali sebagai pemilik tunggal surga, tapi hal sepele begitupun kau tak tahu…

Aku : Ajari aku….aku sadar bahwa aku memang naif..

Nelayan Tua : Untuk bisa menemukan gerbang itu..kau harus melakukan banyak hal: kau harus singkirkan kedengkian, amarah, keserakahan, dan berbagai keburukan lainnya dari dalam hatimu…

Lalu, kau sering-seringlah memasuki alam keheningan..buat pikiranmu diam sejenak..biarkan dirimu berhubungan dengan suara di dalam hatimu…Berikutnya…kau harus berbuat baik kepada semua yang ada di sekitarmu…termasuk kepada pepohonan, bebatuan, langit, penghuni langit, tetangga, leluhur, dan semuanya…

Aku : Berat sekali….

Nelayan Tua : Ha, ha..begitu saja sudah berat kok yakin jadi pemilik surga….

Aku : Dalam hati aku misuh misuh pada diriku sendiri…Diampuuuuuuttt…aku memang GEMBLUNG..!!.

Nelayan Tua : Ya sudah, berhubung sudah larut kita akhiri jagongan ini, istirahat dulu bukannya besok kau akan menyelam??? nanti kau akan tahu sendiri keindahan di dalam laut setelah kau menyelaminya sendiri bukan dari cerita2 yg dutuliskan orang lain dlm buku.

Aku : Baik pak, terima kasih sudah bersedia menemani dan mengantarkan saya menyelam besok pagi.
 

suami ideal itu,,,,



Membawa beban dipunggung puluhan kilogram, tak pernah menyerah pada cuaca buruk, bertanggung jawab pada teman seperjalanan, bisa memasak dan selalu menerima dalam keadaan terburuk sekalipun. Mungkin tak terlalu berlebihan jika hal - hal itu dinobatkan pada para pendaki yang kebanyakan di dominasi oleh para pria. 

Membawa tas ransel besar ( carrier ) dengan isi belasan atau bahkan puluhan kilogram ibaratkan satu keluarga yang dipikul pada pundak seorang pria menuju puncak. Tas itu merupakan nyawa, hidup dan amanah yang tidak boleh lepas dari punggungnya. 


Dengan susah payah tas itu dibawa menuju puncak melewati jalan setapak yang curam menanjak. Belum lagi ketika cuaca tidak bersahabat, hujan badai, kabut tebal, dingin yang menusuk. Menjadi cobaan tersendiri bagi mereka, hanya kesabaran, keikhlasan dan semangat tak kenal lelah yang menjadi modal utama.



Suatu pendakian umumnya dilakukan oleh beberapa orang dan mereka saling bertanggung jawab satu sama lain.Jika salah satu cidera atau menurun kesehatannya, pasti mereka akan membackup dan merawatnya dengan sabar. 



Ketika waktu makan tiba pasti semuanya sibuk menyiapkan masakan yang akan dihidangkan, kadang menunya pun tak pernah ada di restoran manapun. Mereka adalah chef hasil didikan alam. Tidur beralaskan matras yang jauh dari kata empuk, dinginnya cuaca pegungungan, berhimpit - himpitan dengan teman setenda, belum lagi jika ada salah satu yang kentut atau mendengkur. Tidak jadi masalah bagi mereka, bahkan hal itu dianggap cerita untuk anak cucu mereka nanti.



Selalu dengan tawa dan senyuman mereka menikmatinya.Kepuasan wajah mereka akan terlihat jika telah menapaki puncak yang jadi tujuannya. Tak ada yang bisa menggantikan itu dalam hidup mereka, rasa sakit, lelah dan hampir putus asa akan hilang ketika melihat matahari sebagai awal baru datang di ufuk timur. Jadi ..... untuk para wanita, berminatkah mencari suami ideal seorang pendaki???