kita bicara tentang apa, kawan?
siang malam ibu2, gadis muda, anak kecil, pembantu duduk rapi menonton sinetron penuh gombal kehidupan, acara gosip2 murahan menyengat bau bangkainya, atau lagu2 merengek bicara cinta dan omong-kosong!
siang malam bapak2, bujang tanggung, anak baru mengeja huruf duduk nyaman menonton carut-marut berita, talkshow yang dari pembicaranya berleleran ludah sok-gaya, atau reality show penuh tipu2

kita diskusi tentang apa, cuy?
setiap jengkal hidup diisi iklan2 konsumerisme berbungkus kemasan suci bagai perawan tak berdosa... pertunjukan gemerlap konsumerisme dihiasi polling2 bodoh yg dibuat laksana patriotisme dan bisa bermanfaat bagi bangsa negara..
setiap kaki melangkah mentok sana-sini dengan mall, plaza, city center, bahkan di kampung2 pun dikepung minimarket dan jaringan MLM...dan lihat, si pencetus semua gaya hidup ini lewat menaiki alphard...yg harganya,, pembantu bekerja 200 tahun saja seluruh gajinya ditabungkan tetap tidak terbeli.. dan lihat, si pemeran sinetronnya.. menangis sebentar, kontan dibayar seharga uang sekolah si bujang selama setahun..durasi 30 detik di televisi seharga 10 MCK di kampung agar mereka tidak berak sembarangan di kebun dan bikin disentri, kolera menyebar..iklan satu halaman penuh di suratkabar, seharga perbaikan 100 dapur kampung, agar asap tidak mengungkung rumah dan membuat penyakit saluran pernafasan menjadi pembunuh nomor 1 di pelosok2 negeri..

oi, kita bicara tentang apa, lai?
kita kenal friend antah berantah di moskow, kita add artis, penulis, macam dekat benar ber-haha-hihi di wall, pages-nya.. tapi apakah kita kenal tetangga sebelah rumah? pernah mengantar makanan ke mereka? atau jangan2 kalau ada orang bertanya di mana rumah Pak Mahmud, kita cuma bego manggut-manggut padahal rumahnya persis di depan jidat kita..kau mau bicara tentang budaya apa, kawan?setiap bulan puasa tiba, berjejelan orang berkerudung cantik sekali; ceramah muntah bagai peluru dari senapan mesin... setiap naik haji, dengan cepat kuota 200 ribu sekian terpenuhi, bahkan jamaah yg menangis gagal berangkat jd tontonan.. tapi lihat? mengurus pengantar surat nikah di kelurahan saja harus bayar 50.000 rupiah.. mengurus surat kematian harus menyumpal petugasnya.. apalagi calo2 dokumen lebih penting.. jangan tanya soal mengurus keadilan di negeri ini..gombal!hari ini semua urusan hanya berputar di perut, selangkangan, lantas berkelindan di mulut, tangan, kaki sebagai bawahan.. tidak ada lagi kesempatan bagi hati untuk bisa sedetik saja memberitahu: pada akhirnya semua hanya menjadi debu tdk bersisa..

kita memang sedang bicara tentang apa..
 

beragama dan kegilaan



Sigmound Freud, seorang pakar psikoanalisa, pernah mengatakan bahwa: “Agama dapat menyebabkan pemeluknya mengalami gangguan jiwa”. Menurut Freud, perilaku orang beragama adalah perilaku orang yang sedang mengalami gangguan kejiwaan.

Lihatlah, kata Freud, bagaimana seorang pemeluk agama rela melakukan segalanya hanya demi janji2 semata. Ia bahkan rela mengorbankan nyawanya demi janji surga yang belum tentu didapatkan. Jika bukan atas nama agama yang menjanjikannya, tak mungkin seseorang melakukan segala sesuatu hanya berdasarkan pada janji2 tanpa bukti?.

Kemudian, simak bagaimana pemeluk agama selalu mengulang2 rutinitas ritual yang “begitu-gitu” saja di setiap harinya. Hanya orang yang sakit jiwa  yang selalu mengulang perbuatan dan perkataan yang sama pada setiap harinya. Bila agama telah semakin dalam merasuki para pemeluknya, ia semakin berbahaya bagi pemeluknya dan bagi orang lain. Secara sepintas, tesis Freud ini benar, bahwa agama menyebabkan gangguan kejiwaan.

Di kemudian hari, tesis Freud ini pun terbantahkan. Sebab agama ternyata bisa menyehatkan jiwa seseorang. Lihat bagaimana sufi besar Fudhail Ibn Iyadh yang mantan gembong perampok bisa “sembuh” takkala mendengar lantunan Ayat suci Alquran. Atau lihat bagaimana orang kota banyak berbondong2 memenuhi kelas2 sufi demi mendapatkan obat bagi jiwa yang tengah terlanda strees yang berkepanjangan. Bahkan psikologi menawarkan agama sebagai jalan keluar terbaik dalam mengatasi pelbagai gangguan kejiwaan. Jadi agama ternyata bisa menyembuhkan sakit jiwa seseorang dan gugurlah tesis Freud.

Lalu bagaimana dengan kasus pelaku bom Bali?. Bukankah hanya orang yang sakit jiwa yang rela mengorbankan nyawanya sekaligus dengan tega mencederai orang lain?. Dr. Jalaludin Rakhmat dalam bukunya Psikologi Agama berpendapat bahwa agama -sesungguhnya- menyembuhkan jiwa seseorang, membikin sejuk sebagaimana misi agama tersebut.

Walhasil, Agama tidak menyebabkan gangguan kejiwaan. Dan jika kita menemukan semisal kasus di atas, seseorang yang taat beragama tapi tega mencederai orang lain, bukan agamanya yang patut dipersalahkan, tetapi cara ber-agamanya. Dengan kata lain kang Jalal, demikian Ia dipanggil, hendak mengatakan bahwa cara beragama yang salah dapat menyebabkan gangguan kejiwaan. Agamanya tak salah, hanya cara beragama-nya lah yang salah.

Beliau menyodorkan tiga tipikal cara beragama yang menyebabkan sakit jiwa, yaitu:

1. Cara beragama yang membuat kita tidak lagi berfikir realistis, membuat kita menolak realitas. Agama baginya seakan2 mengajarkan penyelesaian permasalahan dengan cepat, mengatasi persoalan dengan mudah.

Kita sering saksikan orang yang larut dalam wiridnya yang sangat teramat panjang untuk mendapatkan rejeki, sementara realita yang ada ialah bekerja secara maksimal justru ia indahkan. Orang demikian tidak berpikir realistis serta menolak realitas. Zikir baginya adalah satu-satunya media (catat: satu-satunya) untuk mendapatkan rezeki dengan mudah.

Dalam kasus ini, Umar ra pernah menegur orang yang kerjanya hanya berdoa saja di mesjid tanpa berusaha, “Ya Akhi Lam Tamturi As-Sama’u Bi Zahab Wa La Bi Fidhoh”. Wahai kawan ketahuilah, sesungguhnya langit tak akan menurunkan emas dan juga perak. Agama mengajarkan agar ada keseimbangan antara doa dengan realitas yang ada. Agama mengajak pemeluknya untuk berpikir realistis.

Sah-sah saja seseorang menghabiskan waktunya dengan wirid yang teramat panjang, atau meminta berkah doa bagi kesembuhan kepada seorang Ulama, tapi hendaknya keyakinannya itu tak menyebabkan ia menafikan realita yang ada.

2. Cara beragama yang mengorbankan akal sehat. Seakan2 agama tidak memperkenankan kita memikirkan sosok sang pencipta dengan akal. Agama bak mengunci akal kita dan membuang jauh-jauh unsur akal dalam agama.

Sungguh indah petikan kalimat Plato takkala ia mengadakan pembelaan: Tuhan menciptakan akal untuk diriku. Akal yang membedakanku dengan makhluk rendah lainnya. Jadi bila tidak aku pergunakan untuk memikirkan zat-Nya atau mengungkap rahasia di balik-Nya, harus aku pergunakan untuk apa akal pemberian Tuhan ini agar pemberiannya tak sia2?.

Memang benar tak semua mampu dicerna oleh akal kita. Dalam Dunia Sophie, misalnya, bagaimana sang mentor Sophie menerangkan kegunaan mitos2 itu diciptakan. Mitos tentang hujan yang dimitoskan dengan Thor yang menggesekan palunya atau mendung sebagai kendaraannya. Semua itu dimitoskan untuk sekedar menerangkan hujan agar masuk akal di saat ilmu pengetahuan belum menjangkaunya. Jadi tak tepat bila seseorang bertanya: “Andaikata demikian, lalu bagaimana engkau “meng-akal-kan” siksa kubur, dan sebagainya?”. Ketahuilah bukan jawabannya yang tak ada, tetapi pertanyaanya lah yang salah. Karena, seperti dikatakan di atas, tidak semuanya harus dimengerti dengan akal. Dan pertanyaan itu adalah domain Iman dan bukan akal.

Namun hal itu semua tidak serta-merta menjadikan posisi akal tertutup untuk agama. Akal seharusnya tetap mendapat porsi yang layak dalam suatu agama. Bukankah agama yang benar semestinya dimengerti oleh akal sehat pemeluknya?

3. Cara beragama kaum extrimis.

Kaum ini biasanya akan mengalami penyakit kejiwaan psikis (psikopat) bernama delusi. Penderita yang terjangkiti delusi akan selalu melihat dunia ini serba hitam putih. Sehingga ia akan senantiasa merasa di kelompok yang putih. Sementara yang lainnya berada dalam kotak hitam. Ia merasa seolah-olah dirinya adalah “nabi” yang diutus oleh Tuhan untuk menyelamatkan umat dari kesesatan. Ia diutus untuk menyelamatkan dunia dari pelbagai kerusakan. Di matanya semua orang salah, ia sendirilah yang benar.

Para pengebom Bali agaknya termasuk tipikal golongan ini. Dengan pemahaman keagamaannya yang belum mendalam, ia akan dengan mudahnya menerima semua doktrin tanpa kritis sama sekali. Ia merasa dirinya sebagai sosok “nabi’ yang diutus untuk menyelamatkan dunia dari kerusakan. Dan ia harus menyelamatkan dunia, meski harus mengorbankan nyawanya dan mencederai orang lain di sekitarnya.

Demikian pula dengan sosok2 yang lebih mengedepankan kekerasan dalam beragama. Biasanya penyakit ini akan mudah menghinggapi orang yang menganggap agamnya hanya sebatas ritual saleh semata. Tokh, untuk mencapai surga tidak melulu soal ritual shaleh, melainkan juga ada ritual sosial yang mengimbanginya. Dalam hal ini ungkapan Ali Syariati patut untuk dikedepankan, bahwa sesungguhnya Alquran 70 persen-nya berbicara mengenai hubungan antar manusia.

Mereka beranggapan telah menegakkan panji-panji agama, sebaliknya justru meruntuhkannya dan melumuri panji-panji suci agama dengan jelaga hitam nan penuh kenistaan.

Juga terhadap orang yang memahami kitab sucinya hanya secara tekstual-nya saja, tanpa memperhatikan kontekstual. Sehingga Jihad dimaknai sebagai perang. Yang terjadi ialah memori yang terekam dalam otaknya tentang bagaimana bertemu dengan “bidadari meskipun harus melukai diri sendiri dan mengorbankan nyawa sesama.

Dengan bengisnya mereka menyegel tempat ibadah umat lain, merusak masjid , menebar teror serta menumpahkan darah orang-orang yang tak sepaham dengannya. Sakitnya, dengan bangganya mereka melakukan itu sembari mengepalkan tangan, meneriakkan nama Tuhan. “Atas nama agama.”

Maraknya fenomena terorisme di belahan NKRI, menjadi pertanda nyata bahwa ada kesalapahaman tersendiri dalam memandang agama, terutama tujuan dan misinya. Agama tak patut disalahkan dengan disebut sebagai sumber dari kekerasan, melainkan cara beragama seseorang-lah yang patut untuk kita kaji kembali.

Jadi sudah sehatkah cara beragama kita? Atau jangan2 justru kita telah terjangkiti penyakit kejiwaan?. Dan agama tidak menyebabkan gangguan kejiwaan, tetapi cara menyikapi agama yang salah yang justru menyebabkan gangguan kejiwaan.