Borobudur : the greatest temple in java



Nama Borobudur


Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.

Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Kahulunan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra. [1] Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa sansekerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.

Struktur Borobudur

· Denah keseluruhan Borobudur membentuk Mandala, lambang alam semesta dalam kosmologi Buddha.

· Candi Borobudur memiliki struktur dasar punden berundak, dengan enam pelataran berbentuk bujur sangkar, tiga pelataran berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua pelatarannya beberapa stupa.

· Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana. Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.

· Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 120 panel cerita Kammawibhangga. Sebagian kecil struktur tambahan itu disisihkan sehingga orang masih dapat melihat relief pada bagian ini.

· Empat lantai dengan dinding berelief di atasnya oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk-ceruk dinding di atas ballustrade atau selasar.

· Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar.

· Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga unfinished Buddha, yang disalahsangkakan sebagai patung Adibuddha, padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung pada stupa utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini.

Di masa lalu, beberapa patung Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang dikirimkan kepada Raja Thailand, Chulalongkorn yang mengunjungi Hindia Belanda (kini Indonesia) pada tahun 1896 sebagai hadiah dari pemerintah Hindia Belanda ketika itu.

Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.

· Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock yaitu seperti balok-balok Lego yang bisa menempel tanpa lem.


Ada beberapa aspek yang diperhatikan sebelum memperkirakan bagaimana candi ini dibangun, yaitu:

1. Bentuk bangunan. Candi ini berbentuk tapak persegi ukuran panjang ± 123 m, lebar ± 123 m dan tinggi ± 42 m. Luas 15.129 m2.

2. Volume material utama. Material utama candi ini adalah batuan andesit berporositas tinggi dengan berat jenis 1,6-2,0 t/m3. Diperkirakan terdapat 55.000 m3 batu pembentuk candi atau sekitar 2 juta batuan dengan ukuran batuan berkisar 25 x 10 x 15 cm. Berat per potongan batu sekitar 7,5 – 10 kg.

3. Konstruksi bangunan. Candi borobudur merupakan tumpukan batu yang diletakkan di atas gundukan tanah sebagai intinya, sehingga bukan merupakan tumpukan batuan yang masif. Inti tanah juga sengaja dibuat berundak-undak dan bagian atasnya diratakan untuk meletakkan batuan candi.

4. Setiap batu disambung tanpa menggunakan semen atau perekat. Batu-batu ini hanya disambung berdasarkan pola dan ditumpuk.

5. Semua batu tersebut diambil dari sungai di sekitar candi borobudur.

6. Candi borobudur merupakan bangunan yang kompleks dilihat dari bagian-bagian yang dibangun. Terdiri dari 10 tingkat dimana tingkat 1-6 berbentuk persegi dan sisanya bundar. Dinding candi dipenuhi oleh gambar relief sebanyak 1460 panel. Terdapat 505 arca yang melengkapi candi.

7. Teknologi yang tersedia. Pada saat itu belum ada teknologi angkat dan pemindahan material berat yang memadai. Diperkirakan menggunakan metode mekanik sederhana.

8. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan. Tidak ada informasi yang akurat. Namun beberapa sumber menyebutkan bahwa candi borobudur dibangun mulai 824 m – 847 m. Ada referensi lain yang menyebut bahwa candi dibangun dari 750 m hingga 842 m atau 92 tahun.

a. Pembangunan candi dilakukan bertahap. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak. Tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar.

b. Tahap kedua, pondasi borobudur diperlebar, ditambah dengan dua undak persegi dan satu undak lingkaran yang langsung diberikan stupa induk besar.

c. Tahap ketiga, undak atas lingkaran dengan stupa induk besar dibongkar dan dihilangkan dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa dibangun pada puncak undak-undak ini dengan satu stupa besar di tengahnya.

d. Tahap keempat, ada perubahan kecil, yakni pembuatan relief perubahan pada tangga dan pembuatan lengkung di atas pintu.

9. Suatu hal yang unik, bahwa candi ini ternyata memiliki arsitektur dengan format menarik atau terstruktur secara matematika. Setiap bagain kaki, badan dan kepala candi selalu memiliki perbandingan 4:6:9.

10. Penempatan-penempatan stupanya juga memiliki makna tersendiri, ditambah lagi adanya bagian relief yang diperkirakan berkatian dengan astronomi menjadikan borobudur memang merupakan bukti sejarah yang menarik untuk di amati.

a. Jumlah stupa di tingkat arupadhatu (stupa puncak tidak di hitung) adalah: 32, 24, 26 yang memiliki perbandingan yang teratur, yaitu 4:3:2, dan semuanya habis dibagi 8.

b. Ukuran tinggi stupa di tiga tingkat tsb. Adalah: 1,9m; 1,8m; masing-masing bebeda 10 cm. Begitu juga diameter dari stupa-stupa tersebut, mempunyai ukuran tepat sama pula dengan tingginya : 1,9m; 1,8m; 1,7m.

c. Beberapa bilangan di borobudur, bila dijumlahkan angka-angkanya akan berakhir menjadi angka 1 kembali. Diduga bahwa itu memang dibuat demikian yang dapat ditafsirkan : Angka 1 melambangkan ke-esaan sang adhi buddha.

d. Jumlah tingkatan borobudur adalah 10, angka-angka dalam 10 bila dijumlahkan hasilnya : 1 + 0 = 1.

e. Jumlah stupa di arupadhatu yang didalamnya ada patung-patungnya ada : 32 + 24 + 16 + 1 = 73, angka 73 bila dijumlahkan hasilnya: 10 dan seperti diatas 1 + 0 = 10.

f. Jumlah patung-patung di borobudur seluruhnya ada 505 buah. Bila angka-angka didalamnya dijumlahkan, hasilnya 5 + 0 + 5 = 10 dan juga seperti diatas 1 + 0 = 1.

melihat data-data di atas, tentunya masih bersifat perkiraan, saya mencoba memberikan beberapa analisa yang mudah-mudahan dapat dikomentari sebagai usaha kita menguak misteri yang ada sebagai berikut:

· dari data yang ada disebutkan bahwa ukuran batu candi adalah sekitar 25 x 10 x 15 cm dengan berat jenis batu adalah 1,6 – 2 ton/m3, ini berarti berat per potongan batu hanya sekitar maksimum 7.5 kg (untuk berat jenis 2 t/m3).

Potongan batu ternyata sangat ringan. Untuk batuan seberat itu, rasanya tidak perlu teknologi apapun. Masalah yang mungkin muncul adalah medan miring yang harus ditempuh. Medan miring secara fisika membuat beban seolah-olah menjadi lebih berat.

Hal ini karena penguraian gaya menyebabkan ada beban horizontal sejajar kemiringan yang harus dipikul. Namun dengan melihat kenyataan bahwa berat per potongan batu adalah hanya 7.5 kg, rasanya masalah medan miring yang beundak-undak tidak perlu dipermasalahkan.

Kesimpulannya adalah proses pengangkutan potongan batu dapat dilakukan dengan mudah dan tidak perlu teknologi apapun.

· sumber material batu diambil dari sungai sekitar candi.

Hal ini berarti jarak antara quarry dan site sangat dekat. Walaupun jumlahnya mencapai 2.000.000 potongan, namun ringannya material tiap potong batu dan dekatnya jarak angkut, hal ini berarti proses pengangkutan pun dapat dilakukan dengan mudah tanpa perlu teknologi tertentu.

· candi dibangun dalam jangka waktu yang cukup lama.

Ada yang mengatakan 23 tahun ada juga yang mengatakan 92 tahun. Jika berasumsi paling cepat 23 tahun. Mari kita berhitung soal produktifitas pemasangan batu;

Jika persiapan lahan dan material awal adalah 2 tahun, maka masa pemasangan batu adalah 21 tahun atau 7665 hari. Terdapat 2 juta potong batu. Produktifitas pemasangan batu adalah 2000000/7665 = 261 batu/hari.

Produktifitas ini rasanya sangat kecil. Tidak perlu cara apapun untuk menghasilkan produktifitas yang kecil tersebut. Apalagi menggunakan data durasi pelaksanaan yang lebih lama.

· lamanya proses pembuatan candi dapat disebabkan ada perubahan-perubahan design yang dilakukan selama pelaksanaannya.

Hal ini mungkin dikeranakan adanya pergantian penguasa (raja) selama proses pembangunan candi.

· borobudur dilihat secara fisik begitu impresif.

Memiliki 10 lantai dengan bentuk persegi dan lingkaran. Memiliki relief sepanjang dinding dan arca dalam jumlah yang banyak. Candi ini begitu memperhatikan falsafah yang terkandung dalam ukuran-ukurannya. Hal ini membuktikan bahwa candi dibangun dengan konsep design yang cukup baik.

· candi borobudur adalah candi terbesar.

Candi borobudur juga terlihat kompleks dilihat dari design arsitekturalnya terdiri dari 10 tingkat dimana tingkat 1-6 berbentuk persegi dan sisanya bundar. Dinding candi dipenuhi oleh gambar relief sebanyak 1460 panel.

Terdapat 504 arca yang melengkapi candi. Ini jelas bukan pekerjaan design dan pelaksanaan yang gampang. Kesimpulannya candi borobudur yang bernilai dari sisi design baik teknik sipil maupun seni arsitektur membutuhkan perencanaan dan pengelolaan yang matang dari aspek design maupun cara pelaksanaannya. Saya berkesimpulan candi ini dibangun dengan manajemen proyek yang sudah cukup baik.


 

Piagam Jakarta & Pancasila

Piagam Jakarta sebenarnya merupakan gentlemen’s agreement dari bangsa ini. Sayang, kalau generasi selanjutnya justru mengingkari sejarah.”(Kasman Singodimedjo).

Membincangkan Pancasila sesungguhnya harus selalu dilakukan untuk semakin sering me-refresh kembali kesadaran dalam konteks berbangsa dan bernegara. Kesadaran ini sangat penting untuk mengingat dan menyadari kembali tujuan bersama membangun “Indonesia” yang disepakati berdiri sejak 17 Agustus 1945 lalu. Seringkali, keberadaan Indonesia ini dianggap sebagai sesuatu yang teken for granted, ada dengan sendirinya, tanpa sejarah, tanpa kesepakatan, dan akhirnya dianggap selalu akan ada. Padahal kenyataannya tidak selalu demikian.

Salah satu yang menjadi bagian dari sejarah bangsa ini yang cukup fundamental adalah “Pancasila”. Pancasila yang berarti “lima sila” ini telah disepakati bersama sebagai falsafah dan bangsa dasar bagi penyelenggaraan negara Indonesia. Kesepakatan ini adalah sebuah fakta sejarah bahwa bangsa dan negara ini lahir dari suatu kesadaran dari semua elemen bangsa untuk hidup bersama membangun negara dan bangsa secara bersama-sama. Lantas kesepakatan itu dituangkan dalam dokumen-dokumen kesepakatan resmi yang salah satunya melahirkan Pancasila.

Sudah menjadi hardfact (fakta keras) sejarah bahwa kata-kata yang tercantum menjadi sila-sila dalam Pancasila mula-mula berasal dari suatu dokumen yang ditandatangai oleh anggota-anggota Badan Penyelidik Untuk Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diketuai oleh Sukarno. Dokumen itu kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta yang ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945. Adalah juga hardfact bahwa pada tanggal 18 Agustus 1945, terjadi perubahan dalam dokumen itu, yaitu perubahan sila pertama Pancasila dengan menghapus tujuh kata keramat:“dengan menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya” dan hanya menyisakan kata-kata “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Ada yang mencoba mengaburkan fakta ini dengan menyebut Pancasila sebagai buah pikiran Sukarno dalam pidato pembukaan sidang BPUPKI 1 Juni 1945 sehingga tanggal ini kemudian dikenal sebagai hari lahir Pancasila. Bahkan untuk semakin mengaburkan makna historis yang semestinya, ditambahkanlah bumbu mitos yang sampai sekarang masih banyak diajarkan. Pancasila ini dikait-kaitkan dengan karya-karya Empu Prapanca, Negara Kertagama, dan Empu Tantular, Sutasoma, yang hidup semasa kejayaan raja-raja Majapahit. Barangkali mitos itu sengaja diungkap untuk semakin mengukuhkan bahwa Pancasila memang sesuatu yang sudah hidup sejak lama dan berakar dalam darah daging bangsa Indonesia.

Dari sisi nama masih dapat diterima, namun dari sisi substansi agak sulit menghubungkan Pancasila yang berisi sila-sila yang sekarang kita kenal dengan Mo Limo dalam Kitab Sutasoma yang berisi larangan: 1) tidak boleh melakukan kekerasan (ahimsa), 2) tidak boleh mencuri (asteya), 3) tidak boleh berjiwa dengki (indriya nigraha), 4) tidak boleh berbohong (amrsawada), dan 5) tidak boleh mabuk minum-minuman keras (dama). Antara “Pancasila” hasil Piagam Jakarta dengan “Pancasila” versiSutasoma ini jelas sesuatu yang berbeda. Selain karena jarak waktu berabad-abad yang agak sulit ditarik garis kontinum historinya, isi keduanya pun mencerminkan perbedaan yangagak mencolok.

Barangkali kalau hanya sekadar meminjam kembali nama masih dapat diterima secara logis. Dan ini bukan sesuatu yang prinsipil. Oleh sebab demikian, yang paling logis dan paling masuk dalam nalar sejarah adalah menarik “Pancasila” ini pada dokumen asalnya, yaitu Piagam Jakarta dan perubahannya beberpa waktu kemudian. Ini lebih jelas dan dapat lebih dipertanggungjawabkan.

Piagam Jakarta sendiri lahir dari suatu pergulatan dan dialog antar-berbagai kelompok dan elemen yang ke depan akan menjadi bagian dari bangsa ini. Dialog ini tidak dimonopoli oleh suatu kekuatan manapun. Juga tidak ada intervensi dari pihak asing manapun, termasuk dari pihak Jepang yang membentuk BPUPKI sendiri. Masing-masing melemparkan argumen dan saling membantah dengan elegan sebagai pemimpin-pemimpin yang layak menjadi teladan. Tidak ada kepentingan individual dan vested interestyang akan mengorbankan kepentingan bangsa sendiri. Suasana diaolog begitu terbuka hingga akhirnya setelah 22 hari bersidang, disepakatilah dokumen Piagam Jakarta yang isinya sebagian besar menjadi Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945.

Semua pihak merasa puas dengan hasil kesepakatan itu. Dalam pidatonya tanggal 9 Juli 1945, Sukarno sendiri menyebut Piagam Jakarta ini sebagaigentlemen’s agreement antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam. Pernyataan ini diamini oleh hampir semua pihak. Kelompok Islam yang dengan gigih ingin tetap memperjuangkan Islam sebagai dasar negara di negeri yang mayoritas Muslim inipun sepakat dengan Piagam Jakarta ini. Masing-masing pihak sudah merasa cukup terwakili kepentingannya. Tanda tangan yang dibubuhkan oleh Sukarno, M. Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, A.K. Muzakkir, Agus Salim, A. Subardjo, A. Wahid Hasyim, dan Moch. Yamin sebagai wakil-wakil dari semua golongan menjadi bukti akan kesepakatan luhur itu.

Titik kesepakatan yang disebut gentlemen’s agreement itu terletak pada berhasil disepakatinya dasar dan falsafah penyelenggaraan negera ini yang tercantum pada paragraf terakhir Piagam itu. Bagian inilah yang kemudian lebih dikenal sebagai “Pancasila”. Berikut petikan paragraf terakhir Piagam Jakarta.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan berada, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kesepakatan ini ternyata tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan semua pihak. Tanggal 18 Agustus 1945 mulai terjadi riak-riak kekecewaan. Bagian akhir dari Piagam Jakarta diubah oleh panitia yang dibentuk kemudian yang hanya beranggotakan sembilan orang. Panitia ad hoc ini dinamai Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang juga dibentuk Jepang. Poin penting yang diubah oleh panitia ini adalah tujuh kata setelah Ke-Tuhanan, diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Juga diubah klausul pasal pada batang tubuh UUD Pasal 6 ayat 1 mengenai kriteria presiden. Semua ayat itu mensyaratkan presiden harus orang Islam, namun kemudian diubah menjadi hanya “harus orang asli Indonesia.”

Yang merasa paling dikecewakan atas perubahan ini adalah kelompok Islam. Mereka merasa bahwa gentlemen agreement yang sudah disepakati bersama dimentahkan hanya dalam ruang dialog sempit sembilan orang anggota PPKI. Walaupun demikian, sebagai warga bangsa yang baik, umat Islam tetap mengjormati keptusan itu. Ruang-ruang yang memungkinkan bagi umat Islam untuk kembali merehabilitasi kepentingan mereka yang terzhalimi dmanfaatkan sebaik-baiknya. Konstituante adalah ruang paling terbuka untuk itu. Namun sayang, akhirnya Konstituante harus gagal di tangan otoritiarianisme Sukarno yang memaksakan Dekrit pada 5 Juli 1959.

Semenjak berlaku Dekrit 5 Juli 1959 semua perundang-undangan yang mengganti UUD 1945, yaitu UUD RIS dan UUD Sementara tahun 1950 yang berlaku setelah Mosi Integral Natsir, dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-Undang Dasar yang telah 90 persen dirampungkan oleh Konstituante pun gugur. Dan akhirnya, Dekrit memberikan jalan lempang berlakunya kembali UUD 1945. Namun, dalam teks berlakunya kembali UUD 1945 ini terdapat klausul yang merupakan bentuk akomodasi Sukarno terhadap kelompok Islam yang telah dikecewakan semenjak peristiwa 18 Agustus 1945. Klausul itu berbunyi sebagai berikut.

Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur; Bahwa dengan dukungan bagian terbesar Rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi; Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian-kesatuan dengan Konstitusi tersebut….

Dekrit ini secara terang menyatakan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Klausul ini secara tegas memberikan ruang terhadap berlakunya jiwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945.

Prof. Kasman Singodimedjo, yang terlibat dalam lobi-lobi tanggal 18 Agustus 1945 di PPKI, menyatakan, bahwa Dekrit 5 Juli 1959 bersifat “einmalig”, artinya berlaku untuk selama-lamanya (tidak dapat dicabut). “Maka, Piagam Jakarta sejak tanggal 5 Juli 1959 menjadi sehidup semati dengan Undang-undang Dasar 1945 itu, bahkan merupakan jiwa yang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 tersebut,” tulis Kasman dalam bukunya, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982).

Dengan demikian, cukup jelas bahwa semenjak berlakunya Dekrit 5 Juli 1959 sampai saat ini, keberadaan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 memiliki kekuatan hukum mengikat di negeri ini. Sekalipun demikian, banyak pihak yang berupaya menutup-nutupi kenyataan ini dengan memberikan argumentasi yang seringkali keluar dari konteks hukum ini. Padahal, tidak berapa lama setelah Dekrit, ditetapkan berbagai keputusan yang mengacu pada diakuinya Piagam Jakarta ini.

Di antara ketetapan yang mengacu pada Dekrit ini antara lain: Penjelasan atas Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Ketatpan ini dibuka dengan ungkapan: “Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia ia telah menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Contoh lain terdapat Dalam Peraturan Presiden No 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dicantumkan pertimbangan pertama: “bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut…”.

Bila semua pihak konsisten dengan apa yang telah terjadi pada bangsa ini, maka semua pihak semestinya sudah menghentikan perdebatan tentang keabsahan Pancasila dan semangat Piagam Jakarta. Sampai saat ini belum ada klausul yang mencabut kembali Dekit yang dikeluarkan Sukarno 50 tahun lalu itu. Bahkan, sampai UUD 1945 itu diamandemen sampai empat kali sejak tahun 1999 sampai 2002, klausul Dekrit yang mendasari berlakunya kembali UUD 1945 tidak dipermasalahkan. Hal ini menunjukkan bahwa gentlement’s agreement tetap berlaku dan harus menjadi landasan dalam membangun negara dan bangsa ini ke depan.

Bila kita mengacu pada semangat sejarah Pancasila, maka secara prinsipil ada beberapa hal yang harus menjadi catatan penting bagi kita sebagai pelanjut amanah keberlangusngan negara tercinta ini. Pertama,Pancasila harus diletakkan sebagai gentlemen’s agreement. Artinya, Pancasila tidak perlu dikultuskan dan dimitoskan sebagai sesuatu yang memiliki semacam kekuatan “magis”. Biarkanlah Pancasila sebagaimana sedia kala sebagai sebuah kesepakatan yang dicapai oleh seluruh elemen bangsa dalam menyelenggarakan negara ini. Bila ini sebuah kesepakatan, maka yang diperlukan untuk menjaganya adalah komitmen bersama untuk memelihara apa yang telah menjadi kesepekatan bersama itu. Usaha-usaha menentang Pancasila dari berbagai kelompok harus dilihat sebagai upaya “gugatan” terhadap kesepakatan. Oleh sebab demikian, jalan untuk menyelesaikannya adalah dialog untuk kembali mencapai kesepakatan.

Kedua, Sebagai sebuah ideologi negara yang berasal dari sebuah kesepakatan, Pancasila harus dijadikan sebagai ideologi terbuka. Sebuah kesepakatan adalah milik bersama. Setiap upaya untuk memaksakan suatu tafsir atas kesepakatan itu kepada pihak lain sesungguhnya sudah merupakan bagian dari pelanggaran atas kesepakatan itu; dan hampir bisa dipastikan akan menuai kegagalan. ‘Kesalahan’ terbesar Orde Baru dalam memelihara Pancasila adalah memaksakan Pancasila dijadikan sebagai Asas Tunggal. Pemaksaan ini dapat ditafsirkan sebagai usaha untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi tertutup. Apalagi pemaksaan ini disertai pula pemaksaan tafsir Pancasila melalui P4 (Pedoman Penghayatan dan Pangamalan Pancasila). Jelas, upaya semacam ini menuai protes dari berbagai kalangan dan akhirnya berujung pada situasi yang hampir chaotic di akhir kekuasaan Orde Baru.

Konsekwensi keterbukaan ideologi Pancasila, negara harus mendorong dan mendukung segala bentuk ideologi dan kepercayaan masyarakat yang dijamin oleh Pancasila, termasuk di dalamya penegakan syari’at Islam bagi para pemeluk agama Islam dalam semua aspeknya. Bukankah sila pertama Pancasila menjamin keberagamaan, apalagi Islam yang secara interpretatif sangat dekat dengan kata-kata “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Oleh sebab itu, segala undang-undang ataupun peraturan menyangkut syari’at bagi umat Islam bukan sesuatu yang melanggar Pancasila. Justru negara harus ambil bagian mendukungnya sebagai bentuk keseriusan negara dalam mewujudkan kesepakatan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Ketiga, yang paling penting untuk mewujudkan semangat Pancasila sebagai kesepakatan bersama adalah implementasinya pada perumusan perundang-undangan dan segala aturan legal-formal di negeri ini. Sejak awal Indonesia diselenggarakan sebagai negara hukum (recht-staat), bukan negara kekuasaan (maacht-staat). Oleh sebab itu, yang paling penting dalam pelaksanaan Pancasila adalah implikasinya pada hukum, bukan pada ideologi orang per orang di negeri ini. Perundang-undangan di bawahnya-lah yang harus terus dievaluasi agar tidak terlepas dari semangat Pancasila dan Piagam Jakarta.